Post Top Ad

Pengikut

Kamis, 13 April 2017



Menyibak kontroversi Joko Tarup
Oleh: Yuli M.R
Masa lalu adalah sebuah waktu yang tak mungkin bisa diulang kembali kendati dengan kecerdasan manusia paling tinggi sekalipun. Cerita yang teroret adalah bukti bahwa keberadaan manusia di masa lalu merupakan kehidupan yang benar ada walau pada saat ini hanya menarik untuk dijadikan dongeng sebelum tidur, tanpa peduli kebenaran dan keberadaan yang ditunjukkan dengan bukti sejarah yang ditinggalkan.
Jika kita lirik kembali kisah-kisah dimasa lalu, tentu ada banyak hal yang sangat menarik untuk kita telusuri. Meski terkadang sulit untuk diukur dengan akal sehat dan naluri manusia modern saat ini. Manusia boleh saja punah, namun hikayat dan dongeng di masa silam tentu saja tak boleh kita ubah apalgi meninggalkan. Sejarah adalah apresiasi cantik dari alam untuk mengenang manusia dan perjuangan di masa lampau. JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Kali ini penulis ingin mengajak anda sekalian untuk menelusuri sejarah di masa lalu yang keberadaannya saat ini hanya menarik untuk difilmkan di televisi. Namun penulis ingin sedikit menuangkan apa yang telah didapatkan berdasarkan observasi dan tentunya berangkat dari rasa ingin tahu yang tinggi, serta meluruskan berbagai argument luar yang banyak kontroversi.
Pada saat masih menjadi anak kecil, kita masih ingat tontonan di televise tentang dongeng joko tarup yang mungkin membawa naluri kita di masa itu hanya sebatas angan dan cerita yang hanya selesai dilayar tv. Seiring dengan perkembangan kecerdasan manusia yang tak mungkin mau dibodohi dengan paradigma yang muncul, sebagai manusia dewasa yang lebih berpikir rasional kita tentu merasa selalu ingin tahu kisah-kisah itu dengan absurd. Yang sering menjadi pertanyaan adalah siapakah joko tarup? Benarkah keberadaannya di Madura?. Nah berikut adalah sejarah sederhana mengenai joko tarup.

Sejarah Joko Tarup
Joko tarup adalah seorang penyebar agama islam dipulau Jawa yang berasal dari daerah Banten, Jawa Barat. Di perintahkan oleh gurunya untuk menyebarkan agama islam ke Jawa Timur. Penyebaran agama islam masa itu melalui peperangan karena tidak semua orang pada zaman itu mau untuk masuk islam. Sesampai di Madura ia bermukim di sebuah desa montok yang konon pada masa itu adalah hutan berimba yang tidak berpenghuni, kecuali joko tarup seorang diri.
Suatu ketika, ia hendak mandi ke sebuah taman yang terletak di dekat pemukimannya, pada saat langkah kakiknya sampai di taman ia mendengar suara manusia yang sedang mandi. rasa ingin tahunya membuncah ketika ia tahu bahwa dihutan itu ia hanya tinggal seorang diri tanpa ada orang lain. akhirnya ia mulai mengintip orang-orang yang mandi di taman itu dengan hati-hati.
“sepertinya ada bau manusia” ucap salah seorang yang mandi disana, kiranya percakapannya seperti itu. Dan akhirnya mereka bergegas pergi.Joko tarup merasa semakin penasaran sampai ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apabila esok kembali untuk mandi di taman itu, ia akan mengintipnya lagi.
Keesokan harinya, ia kembali mengintip di tempat yang sama dengan jarak yang cukup aman. Betapa terkejutnya ia ketika melihat beberapa orang wanita yang sangat cantik turun dari langit untuk mandi disana. Lalu ia memandang wanita yang paling cantik dan berinisiatif untuk mengambil selendangnya. Selendang yang ia ambil, dibawa ke rumahnya kemudian ia kembali ke taman untuk memastikan wanita-wanita itu sudah kembali atau tidak.
Sesampai disana ia bertemu dengan seorang wanita yang masih berada di taman sedang yang lainnya sudah pergi.
“kenapa engkau berada di tempat ini wahai agung?, bukankah hutan ini sangat sepi dan rimba?” Tanya wanita itu pada joko tarup.
“rumahku ada di sekitar tempat ini. Dan benar, aku hanya tinggal seorang diri di tempat ini.
“jika begitu, izinkan aku tinggal bersamamu” ujar si wanita
“mana bisa begitu? Aku ini berasal dari bangsa kasar (manusia) sedangkan kau bukan bangsaku”
“tak apa. jika kau hidup kasar, akupun juga akan hidup kasar. Asal aku ikut denganmu” ujar wanita itu pasrah
Kemudian joko tarup membawa wanita itu ke rumahnya. Namun ia masih merasa tak aman apabila seorang lelaki bujang dan wanita serumah tanpa ikatan yang menghalalkan tentu akan menimbulkan fitnah. Akhirnya ia berniat untuk menikahi wanita itu yang diketahui bernama Dewi Nawang Wulan, Yang tersesat karna selendangnya hilang/ selendang itu oleh joko tarup disimpan di bilik penyimpanan padi.
Akhirnya joko tarup menikahi dewi nawang wulan Dengan mengumpulkan para wali dan ulama untuk selametan. Usai selametan, tusuk sate dikumpulkan, ditancapkan ketanah, kemudian tumbuhlah pohon bambu yang begitu banyak. Dan kutil kelapa (sisanya nyior se e parot; kotel. Dalam bahasa Madura) ditaburkan tumbuhlah pohon kelapa. Mungkin yang sering melintas di derah talang siring ke barat bisa melihat sendiri pohon bambu yang teramat banyak di derah joko tarup.
Di suatu hari nawang wulan melahirkan seorang putri yang di beri nama dewi nawang sasi. Pada waktu itu, ia meminta izin kepada joko tarup untuk hendak mencuci pakaian di taman. Namun ia berpesan untuk menjaga anaknya di rumah, dan melarang untuk membuka tempat nasi di dapur. Hanya meminta untuk menjaga kayu agar tidak mati. Akhirnya ia berangkat ke taman.
Rasa penasaran joko tarup akan apa yang diperintahkan isterinya tak bisa lagi di bendung. Ia bertanya-tanya kenapa ia hanya boleh menjaga kayu agar tidak mati, sedangkan tidak diperkenankan untuk membuka tempat nasi yang waktu itu nawang wulan memang sedang memasak. Joko tarup membuka tempat nasi itu, betapa kagetnya ia ketika hanya melihat tiga bulir padi yang ia masak pada saat itu. “pantaslah jika nawang wulan bhental are, bhental bulan, bhental taon padinya tidak habis, bahkan semakin banyak. Inilah rahasianya” ucap joko tarup membatin
Kembalilah nawang wulan dari taman, lalu melihat tempat nasi di dapur. Ia kaget pula ketika padi yang dimasaknya masih utuh tiga bulir padi. Ia menghampiri joko tarup dan berkata “kang mas, engkau adalah lelaki yang panas benda (dalam bahasa Madura panas bhereng, tak kenning koca’). Rupanya sepeninggalanku, kau membuka tempat nasi itu. Berusaha sekeraslah engkau selepas ini untuk mencari orang penumbuk padi, karena padimu akan semakin berkurang nantinya” akhirnya joko tarup menyuruh tukang penumbuk padi untuk makan setiap hari.
Lama berlangsung, padi yang dimiliki joko tarup semakin berkurang dan sedikit. Disuatu ketika, dewi nawang wulan bergegas untuk memasak nasi, dan ingin mengambil beras di tempat penyimpanan padi, disana hanya tertinggal ketan dan ketan hitam. Betapa terkejutnya ketika melihat selendang yang dahulu hilang berada disana.
“kang mas, engkau tekad akupun juga akan lebih tekad” kata dewi nawang wulan
“lah, ada apa dewi? Mengapa kau berkata seperti itu?” tanyanya lebih penasaran
“selama ini engkau yang mengambil selendangku, maka hari ini aku yang akan tekad untuk kembali ke kayangan”
“jangan begitu dewi, bagaimana dengan anakmu nanti?” sesal joko tarup
“biarlah” akhirnya dewi nawang wulan kembali ke kayangan.
Bingung adalah perasaan yang dirasakan joko tarup pada masa itu. Antara menyesal, dan rasa kasihan pada putrinya yang benar membutuhkan dewi nawang wulan. Akhirnya beberapa waktu kemudian ia menyusul dewi nawang wulan ke kayangan dengan maksud untuk membujuk dewi nawang wulan kembali ke bumi. Namun dewi nawang wulan tetap tak mau untuk kembali, joko tarup terus membujuk karena putrinya selalu menangis. Akhirnya dewi nawang wulan meminta joko tarup kembali ke bumi dan menyuruh untuk membuat raghun (semacam sangkar burung yang terbuat dari bamboo). Dan joko tarup pun kembali ke bumi dengan melaksanakan apa yang diperintahkan dewi nawang wulan yang berpesan untuk membawa putinya ke raghun apabila sedang menangis. Iapun membawa dewi nawang sai kesana apabila sedang menangis, dan memang benar bahwa itu menjadi perantara untuk tidak rewel.
Kejadian pertama dan kedua ia masih biasa saja, karena menganggap bahwa memang raghun itu adalah jalan antara dewi nawang wulan untuk menjumpai putrinya. Namun ketika di telusuri, ternyata yang menjadi dewi nawang sasi kecil tidak menangis lagi adalah rupanya ia di susui oleh seekor kerbau putih. Dan bertepatan dengan apa yang dilihatnya, ia bersumpah pada seluruh santrinya bahwa keturunannya sampai generasi ke tujuh tidak boleh makan daging sapi. Salah seorang santrinya membantah “kenapa bukan kerbau putih agung? Bukankah yang menyusui dewi nawang sasi bukan sapi?” joko tarup tetap pada pendiriannya untuk tidak memakan kerbau putih, akhirnya petuahnya diiyakan oleh santrinya. Begitulah cerita singkat joko tarup.
MISTERI “CONGKOP”
Terkait dengan congkop (semisal gubuk yang terbuat dari bamboo) yang berada di halaman rumah joko tarup, itu adalah peninggalan dari agung yang berasal dari desa panjelin. Untuk tempat yang sebenarnya dari desa ini masih menjadi kontroversi, karena ada beberapa desa yang bernama panjelin tidak hanya di Madura tetapi juga di pulau jawa. Namun kuat kemungkinan bahwa letak desa yang dimaksud adalah daerah Bangkes, Kecamatan Kadur.
Kisahnya di suatu ketika Agung Jakfar Shodiq pergi ke undangan di daerah panjelin. Sesampainya disana ia tertawa sendiri melihat congkop kembar yang menarik perhatiannya. Akhirnya orang-orang bertanya apa yang menyebabkan ia tertawa. Kemudian agung panjelin yang berada disana bertanya kepada Agung Jakfar Shadiq yang tertawa sendiri. Ia berkata:
“mengapa engkau tertawa melihat congkop ini wahai agung pacanan (sebutan untuk agung jakfar shadiq karena berasal dari daerah pacanan). Jika engkau berkenan, bawalah congkop ini ke pacanan. Namun jangan di usung dengan tenaga manusia” ujar agung panjelin
“benarkah ini boleh saya bawa pulang agung?” Tanya agung Jakfar Shadiq
Agung panjelin mengiyakan. Akhirnya oleh agung jakfar shadiq di petik salah satu batang di dekat congkop, lalu mengepakkan tangannya seraya berkata “wahai congkop, terbanglah kau ke pacanan dan ambillah posisimu sendiri. Benarkah tempatmu.” Akhirnya congkop itu  terbang ke pacanan. Sampai saat ini congkop itu masih terjaga keutuhannya disana.
Sesampai Agung Jakfar Shadiq di Pacanan, ia melihat seorang lelaki di congkop yang sudah berada di halaman rumahnya bertanya dimana keberadaannya. Barangkali ia adalah orang yang berada di congkop itu sejak dari panjelin, entah ia sedang mengaji, shalat, atau tidur. Tidak diketahui pastinya. Yang jelas, ia terbawa congkop itu dari panjelin ke pacanan. Pada saat itu oleh Agung jakfar shadiq orang itu di perintahkan untuk memejamkan matanya, dan sampailah orang itu ke tempat semula, yaitu Panjelin.
Diceritakan ke kramat-an congkop itu, konon saat congkop sedang diperbaiki dan para pekerja berguyon urak-urakan, maka di atas gubuk itu banyak ular yang tidak diketahui dari mana datangnya. Sehingga para pekerja akan menurunkan ular-ular itu dan membuangnya. Hal itu sebagai tanda bahwa untuk mengunjungi ataupun berada di derah pacanan harus benar-benar dengan niat lurus dan tidak membuat kegaduhan. Ular itu sebagai symbol bahwa tempat itu benar-benar kramat dan suci. Pernah juga ada tiga orang pengunjung yang berziarah kesana, tanpa ada sebab mereka seperti disambar petir dari beton bagian depan. Tidak ada orang yang bisa mengartikan makna kejadian itu, apakah mereka akan meninggal, mendapat keberuntungan, atau pula akan menjadi tabib hanya Allah yang tahu. Congkop itu walaupun dijadikan tempat shalat banyak orang peziarah tidak reot sedikitpun. Sehingga sampai sekarang terjaga keasliannya.
Dahulu pernah juga penutup congkop di ubah genting oleh generasi ke 8, katanya keesokan harinya genting-genting itu sudah berjejer di bawah, dan penutup congkop semula kembali ke tempat asalnya. Pernah juga ada inisiatif dari penerus di pacanan untuk mengubah kayu di congkop, pada sore harinya kembali dengan sendirinya kayu yang di ubah itu. Menurut sumber cerita, merasa repot jadi penerus pacanan karena untuk mengubah congkop, khawatir terkena bala’nya, jika tidak di ubah persepsi orang-orang kepada orang pacanan adalah membiarkan tidak terawatt congkop itu. Sehingga sampai sekarang hanya beton di bagian depan yang mecoba di perbaiki dan diganti.
Terkait dengan nama Pacanan itu berasal, pada zaman dahulu Agung joko tarup meletakkan jhala (tempat menangkap ikan) dimanapun akan banyak ikan berdatangan, walaupun hanya diletakkan di halaman yang jauh dari perairan. Sehingga banyak orang sekitar yang berdatangan kesana untuk membuat terasi (dalam bahasa Madura adalah acan) sehingga tersebutlah pa-acanan. Dan sampai sekarang tempat itu dikenal sebagai daerah pacanan hanya di sekitar pesarean joko tarup saja.
Bala’ sapi tujuh turunan, benarkah?
Masih berkaitan dengan sumpah joko tarup yang melarang keturunannya untuk makan daging sapi, itu bukanlah sekedar kepercayaan yang beredar dan selesai hanya dari lidah ke lidah. Namun terbukti dengan bala’ yang diterima keturunannya. Dahulu ibunda dari nyai. Kama (narasumber)walaupun ia hanya berdekatan dengan bekas air cucian yang berbau daging, maka secara mendadak tangannya mengemutih (kurap), apabila ia sampai memakannya, maka ia akan kurapan yang sembuhnya membutuhkan waktu yang sangat lama. Jadi, sampai saat ini (generasi ke sebelas) mereka tetap menjaga wasiat dari sesepuh mereka, yakni Joko Tarup.
Konon, pada saat meninggalnya ayahanda dari narasumber (generasi ke sebelas) untuk hidangan yang akan diberikan pada tamu yang melayat, mereka membeli daging sapi untuk di suguhkan ke para tamu, dengan maksud daging itu hanya khusus tamu tidak untuk dimakan keluarga pacanan. Yang terjadi setelah itu, seluruh keturunan pada saat perayaan 40 hari, 100 hari meninggalnya almarhum mengalami kecelakaan secara bersamaan. Salah seorang keturunan bernama Titik mengalami musibah di injak sapi, Samsul (keturunan yang lain) terkena pohon yang roboh, sedangkan putera dari narasumber sendiri mengalami kecelakaan yang menyebabkan jarinya di amputasi
Tidak hanya generasi joko tarup saja yang mendapatka bala’ apabila melanggar petuaah joko tarup. Tetapi juga orang luar (bukan keturunan joko tarup) yang akan mendapatkan bala’ apabila mencoba untuk mengambil benda/barang, bahkan tumbuhan yang tumbuh di sekitar pacanan. Walaupun hanya mengambil sebuah kelereng yang bukan dimiliki oleh keluarga pacanan, namun tempatnya disana, akan mengalami musibah atau bala’. Hal itu terkait dengan kesakralan tempat. Dan tak jarang kecelakaa-kecelakaan besar terjadi, dan dengan sendirinya mendatangi keluarga pacanan untuk emminta maaf apabila mengambil barang tanpa sepengetahuan keluarga pacanan.
Demikian cerita mengenai Joko Tarup. Penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak yang telah membantu, terutama narasumber yang sudah bersedia bercerita panjang lebar kepada kami. Serta mohon maaf apabila terdapat beberapa cerita yang masih belum dicantumkan terkait dengan kerahasiaan kisah ini. Salam hormat untuk nyai. Kamariyah (generasi joko tarup ke 11), bapak. Sailin (santri agung ke 10, sekaligus sesepuh penulis “kakek”)


dari pesarean Joko tarub, talang siring, pamekasan, Madura, Jawa timur, Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar