Menyibak kontroversi Joko Tarup
Oleh:
Yuli M.R
Masa lalu adalah
sebuah waktu yang tak mungkin bisa diulang kembali kendati dengan kecerdasan
manusia paling tinggi sekalipun. Cerita yang teroret adalah bukti bahwa
keberadaan manusia di masa lalu merupakan kehidupan yang benar ada walau pada
saat ini hanya menarik untuk dijadikan dongeng sebelum tidur, tanpa peduli
kebenaran dan keberadaan yang ditunjukkan dengan bukti sejarah yang
ditinggalkan.
Jika kita lirik
kembali kisah-kisah dimasa lalu, tentu ada banyak hal yang sangat menarik untuk
kita telusuri. Meski terkadang sulit untuk diukur dengan akal sehat dan naluri
manusia modern saat ini. Manusia boleh saja punah, namun hikayat dan dongeng di
masa silam tentu saja tak boleh kita ubah apalgi meninggalkan. Sejarah adalah
apresiasi cantik dari alam untuk mengenang manusia dan perjuangan di masa
lampau. JASMERAH (Jangan sekali-kali melupakan sejarah).
Kali ini penulis
ingin mengajak anda sekalian untuk menelusuri sejarah di masa lalu yang
keberadaannya saat ini hanya menarik untuk difilmkan di televisi. Namun penulis
ingin sedikit menuangkan apa yang telah didapatkan berdasarkan observasi dan
tentunya berangkat dari rasa ingin tahu yang tinggi, serta meluruskan berbagai
argument luar yang banyak kontroversi.
Pada saat masih
menjadi anak kecil, kita masih ingat tontonan di televise tentang dongeng joko
tarup yang mungkin membawa naluri kita di masa itu hanya sebatas angan dan
cerita yang hanya selesai dilayar tv. Seiring dengan perkembangan kecerdasan
manusia yang tak mungkin mau dibodohi dengan paradigma yang muncul, sebagai
manusia dewasa yang lebih berpikir rasional kita tentu merasa selalu ingin tahu
kisah-kisah itu dengan absurd. Yang sering menjadi pertanyaan adalah siapakah
joko tarup? Benarkah keberadaannya di Madura?. Nah berikut adalah sejarah
sederhana mengenai joko tarup.
Sejarah Joko Tarup
Joko tarup
adalah seorang penyebar agama islam dipulau Jawa yang berasal dari daerah
Banten, Jawa Barat. Di perintahkan oleh gurunya untuk menyebarkan agama islam
ke Jawa Timur. Penyebaran agama islam masa itu melalui peperangan karena tidak
semua orang pada zaman itu mau untuk masuk islam. Sesampai di Madura ia
bermukim di sebuah desa montok yang konon pada masa itu adalah hutan berimba
yang tidak berpenghuni, kecuali joko tarup seorang diri.
Suatu ketika, ia
hendak mandi ke sebuah taman yang terletak di dekat pemukimannya, pada saat
langkah kakiknya sampai di taman ia mendengar suara manusia yang sedang mandi. rasa
ingin tahunya membuncah ketika ia tahu bahwa dihutan itu ia hanya tinggal
seorang diri tanpa ada orang lain. akhirnya ia mulai mengintip orang-orang yang
mandi di taman itu dengan hati-hati.
“sepertinya ada
bau manusia” ucap salah seorang yang mandi disana, kiranya percakapannya
seperti itu. Dan akhirnya mereka bergegas pergi.Joko tarup merasa semakin
penasaran sampai ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa apabila esok kembali
untuk mandi di taman itu, ia akan mengintipnya lagi.
Keesokan
harinya, ia kembali mengintip di tempat yang sama dengan jarak yang cukup aman.
Betapa terkejutnya ia ketika melihat beberapa orang wanita yang sangat cantik
turun dari langit untuk mandi disana. Lalu ia memandang wanita yang paling
cantik dan berinisiatif untuk mengambil selendangnya. Selendang yang ia ambil,
dibawa ke rumahnya kemudian ia kembali ke taman untuk memastikan wanita-wanita
itu sudah kembali atau tidak.
Sesampai disana
ia bertemu dengan seorang wanita yang masih berada di taman sedang yang lainnya
sudah pergi.
“kenapa engkau
berada di tempat ini wahai agung?, bukankah hutan ini sangat sepi dan rimba?”
Tanya wanita itu pada joko tarup.
“rumahku ada di
sekitar tempat ini. Dan benar, aku hanya tinggal seorang diri di tempat ini.
“jika begitu,
izinkan aku tinggal bersamamu” ujar si wanita
“mana bisa
begitu? Aku ini berasal dari bangsa kasar (manusia) sedangkan kau bukan
bangsaku”
“tak apa. jika
kau hidup kasar, akupun juga akan hidup kasar. Asal aku ikut denganmu” ujar
wanita itu pasrah
Kemudian joko
tarup membawa wanita itu ke rumahnya. Namun ia masih merasa tak aman apabila
seorang lelaki bujang dan wanita serumah tanpa ikatan yang menghalalkan tentu
akan menimbulkan fitnah. Akhirnya ia berniat untuk menikahi wanita itu yang
diketahui bernama Dewi Nawang Wulan, Yang tersesat karna selendangnya hilang/
selendang itu oleh joko tarup disimpan di bilik penyimpanan padi.
Akhirnya joko tarup
menikahi dewi nawang wulan Dengan mengumpulkan para wali dan ulama untuk selametan. Usai selametan, tusuk sate
dikumpulkan, ditancapkan ketanah, kemudian tumbuhlah pohon bambu yang begitu
banyak. Dan kutil kelapa (sisanya nyior se e parot; kotel. Dalam bahasa Madura)
ditaburkan tumbuhlah pohon kelapa. Mungkin yang sering melintas di derah talang
siring ke barat bisa melihat sendiri pohon bambu yang teramat banyak di derah
joko tarup.
Di suatu hari
nawang wulan melahirkan seorang putri yang di beri nama dewi nawang sasi. Pada
waktu itu, ia meminta izin kepada joko tarup untuk hendak mencuci pakaian di
taman. Namun ia berpesan untuk menjaga anaknya di rumah, dan melarang untuk
membuka tempat nasi di dapur. Hanya meminta untuk menjaga kayu agar tidak mati.
Akhirnya ia berangkat ke taman.
Rasa penasaran
joko tarup akan apa yang diperintahkan isterinya tak bisa lagi di bendung. Ia
bertanya-tanya kenapa ia hanya boleh menjaga kayu agar tidak mati, sedangkan
tidak diperkenankan untuk membuka tempat nasi yang waktu itu nawang wulan
memang sedang memasak. Joko tarup membuka tempat nasi itu, betapa kagetnya ia
ketika hanya melihat tiga bulir padi yang ia masak pada saat itu. “pantaslah
jika nawang wulan bhental are, bhental
bulan, bhental taon padinya tidak habis, bahkan semakin banyak. Inilah
rahasianya” ucap joko tarup membatin
Kembalilah
nawang wulan dari taman, lalu melihat tempat nasi di dapur. Ia kaget pula
ketika padi yang dimasaknya masih utuh tiga bulir padi. Ia menghampiri joko
tarup dan berkata “kang mas, engkau adalah lelaki yang panas benda (dalam
bahasa Madura panas bhereng, tak kenning
koca’). Rupanya sepeninggalanku, kau membuka tempat nasi itu. Berusaha
sekeraslah engkau selepas ini untuk mencari orang penumbuk padi, karena padimu
akan semakin berkurang nantinya” akhirnya joko tarup menyuruh tukang penumbuk
padi untuk makan setiap hari.
Lama
berlangsung, padi yang dimiliki joko tarup semakin berkurang dan sedikit.
Disuatu ketika, dewi nawang wulan bergegas untuk memasak nasi, dan ingin
mengambil beras di tempat penyimpanan padi, disana hanya tertinggal ketan dan
ketan hitam. Betapa terkejutnya ketika melihat selendang yang dahulu hilang
berada disana.
“kang mas,
engkau tekad akupun juga akan lebih tekad” kata dewi nawang wulan
“lah, ada apa
dewi? Mengapa kau berkata seperti itu?” tanyanya lebih penasaran
“selama ini
engkau yang mengambil selendangku, maka hari ini aku yang akan tekad untuk
kembali ke kayangan”
“jangan begitu
dewi, bagaimana dengan anakmu nanti?” sesal joko tarup
“biarlah”
akhirnya dewi nawang wulan kembali ke kayangan.
Bingung adalah
perasaan yang dirasakan joko tarup pada masa itu. Antara menyesal, dan rasa
kasihan pada putrinya yang benar membutuhkan dewi nawang wulan. Akhirnya
beberapa waktu kemudian ia menyusul dewi nawang wulan ke kayangan dengan maksud
untuk membujuk dewi nawang wulan kembali ke bumi. Namun dewi nawang wulan tetap
tak mau untuk kembali, joko tarup terus membujuk karena putrinya selalu
menangis. Akhirnya dewi nawang wulan meminta joko tarup kembali ke bumi dan
menyuruh untuk membuat raghun (semacam
sangkar burung yang terbuat dari bamboo). Dan joko tarup pun kembali ke bumi
dengan melaksanakan apa yang diperintahkan dewi nawang wulan yang berpesan
untuk membawa putinya ke raghun apabila sedang menangis. Iapun membawa dewi
nawang sai kesana apabila sedang menangis, dan memang benar bahwa itu menjadi
perantara untuk tidak rewel.
Kejadian pertama
dan kedua ia masih biasa saja, karena menganggap bahwa memang raghun itu adalah
jalan antara dewi nawang wulan untuk menjumpai putrinya. Namun ketika di
telusuri, ternyata yang menjadi dewi nawang sasi kecil tidak menangis lagi
adalah rupanya ia di susui oleh seekor kerbau putih. Dan bertepatan dengan apa
yang dilihatnya, ia bersumpah pada seluruh santrinya bahwa keturunannya sampai
generasi ke tujuh tidak boleh makan daging sapi. Salah seorang santrinya
membantah “kenapa bukan kerbau putih agung? Bukankah yang menyusui dewi nawang
sasi bukan sapi?” joko tarup tetap pada pendiriannya untuk tidak memakan kerbau
putih, akhirnya petuahnya diiyakan oleh santrinya. Begitulah cerita singkat
joko tarup.
MISTERI “CONGKOP”
Terkait dengan congkop (semisal gubuk yang terbuat dari
bamboo) yang berada di halaman rumah joko tarup, itu adalah peninggalan dari
agung yang berasal dari desa panjelin. Untuk tempat yang sebenarnya dari desa
ini masih menjadi kontroversi, karena ada beberapa desa yang bernama panjelin
tidak hanya di Madura tetapi juga di pulau jawa. Namun kuat kemungkinan bahwa
letak desa yang dimaksud adalah daerah Bangkes, Kecamatan Kadur.
Kisahnya di
suatu ketika Agung Jakfar Shodiq pergi ke undangan di daerah panjelin.
Sesampainya disana ia tertawa sendiri melihat congkop kembar yang menarik
perhatiannya. Akhirnya orang-orang bertanya apa yang menyebabkan ia tertawa.
Kemudian agung panjelin yang berada disana bertanya kepada Agung Jakfar Shadiq yang
tertawa sendiri. Ia berkata:
“mengapa engkau
tertawa melihat congkop ini wahai agung pacanan (sebutan untuk agung jakfar
shadiq karena berasal dari daerah pacanan). Jika engkau berkenan, bawalah
congkop ini ke pacanan. Namun jangan di usung dengan tenaga manusia” ujar agung
panjelin
“benarkah ini
boleh saya bawa pulang agung?” Tanya agung Jakfar Shadiq
Agung panjelin
mengiyakan. Akhirnya oleh agung jakfar shadiq di petik salah satu batang di
dekat congkop, lalu mengepakkan tangannya seraya berkata “wahai congkop,
terbanglah kau ke pacanan dan ambillah posisimu sendiri. Benarkah tempatmu.”
Akhirnya congkop itu terbang ke pacanan.
Sampai saat ini congkop itu masih terjaga keutuhannya disana.
Sesampai Agung
Jakfar Shadiq di Pacanan, ia melihat seorang lelaki di congkop yang sudah
berada di halaman rumahnya bertanya dimana keberadaannya. Barangkali ia adalah
orang yang berada di congkop itu sejak dari panjelin, entah ia sedang mengaji,
shalat, atau tidur. Tidak diketahui pastinya. Yang jelas, ia terbawa congkop
itu dari panjelin ke pacanan. Pada saat itu oleh Agung jakfar shadiq orang itu
di perintahkan untuk memejamkan matanya, dan sampailah orang itu ke tempat
semula, yaitu Panjelin.
Diceritakan ke
kramat-an congkop itu, konon saat congkop sedang diperbaiki dan para pekerja
berguyon urak-urakan, maka di atas gubuk itu banyak ular yang tidak diketahui
dari mana datangnya. Sehingga para pekerja akan menurunkan ular-ular itu dan
membuangnya. Hal itu sebagai tanda bahwa untuk mengunjungi ataupun berada di
derah pacanan harus benar-benar dengan niat lurus dan tidak membuat kegaduhan.
Ular itu sebagai symbol bahwa tempat itu benar-benar kramat dan suci. Pernah
juga ada tiga orang pengunjung yang berziarah kesana, tanpa ada sebab mereka
seperti disambar petir dari beton bagian depan. Tidak ada orang yang bisa
mengartikan makna kejadian itu, apakah mereka akan meninggal, mendapat
keberuntungan, atau pula akan menjadi tabib hanya Allah yang tahu. Congkop itu
walaupun dijadikan tempat shalat banyak orang peziarah tidak reot sedikitpun.
Sehingga sampai sekarang terjaga keasliannya.
Dahulu pernah
juga penutup congkop di ubah genting oleh generasi ke 8, katanya keesokan
harinya genting-genting itu sudah berjejer di bawah, dan penutup congkop semula
kembali ke tempat asalnya. Pernah juga ada inisiatif dari penerus di pacanan
untuk mengubah kayu di congkop, pada sore harinya kembali dengan sendirinya
kayu yang di ubah itu. Menurut sumber cerita, merasa repot jadi penerus pacanan
karena untuk mengubah congkop, khawatir terkena bala’nya, jika tidak di ubah
persepsi orang-orang kepada orang pacanan adalah membiarkan tidak terawatt
congkop itu. Sehingga sampai sekarang hanya beton di bagian depan yang mecoba
di perbaiki dan diganti.
Terkait dengan
nama Pacanan itu berasal, pada zaman dahulu Agung joko tarup meletakkan jhala (tempat menangkap ikan) dimanapun
akan banyak ikan berdatangan, walaupun hanya diletakkan di halaman yang jauh
dari perairan. Sehingga banyak orang sekitar yang berdatangan kesana untuk
membuat terasi (dalam bahasa Madura adalah acan) sehingga tersebutlah
pa-acanan. Dan sampai sekarang tempat itu dikenal sebagai daerah pacanan hanya
di sekitar pesarean joko tarup saja.
Bala’ sapi tujuh turunan, benarkah?
Masih berkaitan
dengan sumpah joko tarup yang melarang keturunannya untuk makan daging sapi,
itu bukanlah sekedar kepercayaan yang beredar dan selesai hanya dari lidah ke
lidah. Namun terbukti dengan bala’ yang diterima keturunannya. Dahulu ibunda dari
nyai. Kama (narasumber)walaupun ia hanya berdekatan dengan bekas air cucian
yang berbau daging, maka secara mendadak tangannya mengemutih (kurap), apabila
ia sampai memakannya, maka ia akan kurapan yang sembuhnya membutuhkan waktu
yang sangat lama. Jadi, sampai saat ini (generasi ke sebelas) mereka tetap
menjaga wasiat dari sesepuh mereka, yakni Joko Tarup.
Konon, pada saat
meninggalnya ayahanda dari narasumber (generasi ke sebelas) untuk hidangan yang
akan diberikan pada tamu yang melayat, mereka membeli daging sapi untuk di
suguhkan ke para tamu, dengan maksud daging itu hanya khusus tamu tidak untuk
dimakan keluarga pacanan. Yang terjadi setelah itu, seluruh keturunan pada saat
perayaan 40 hari, 100 hari meninggalnya almarhum mengalami kecelakaan secara
bersamaan. Salah seorang keturunan bernama Titik mengalami musibah di injak
sapi, Samsul (keturunan yang lain) terkena pohon yang roboh, sedangkan putera
dari narasumber sendiri mengalami kecelakaan yang menyebabkan jarinya di
amputasi
Tidak hanya
generasi joko tarup saja yang mendapatka bala’ apabila melanggar petuaah joko
tarup. Tetapi juga orang luar (bukan keturunan joko tarup) yang akan
mendapatkan bala’ apabila mencoba untuk mengambil benda/barang, bahkan tumbuhan
yang tumbuh di sekitar pacanan. Walaupun hanya mengambil sebuah kelereng yang
bukan dimiliki oleh keluarga pacanan, namun tempatnya disana, akan mengalami
musibah atau bala’. Hal itu terkait dengan kesakralan tempat. Dan tak jarang
kecelakaa-kecelakaan besar terjadi, dan dengan sendirinya mendatangi keluarga
pacanan untuk emminta maaf apabila mengambil barang tanpa sepengetahuan
keluarga pacanan.
Demikian cerita
mengenai Joko Tarup. Penulis menyampaikan terimakasih kepada pihak yang telah
membantu, terutama narasumber yang sudah bersedia bercerita panjang lebar
kepada kami. Serta mohon maaf apabila terdapat beberapa cerita yang masih belum
dicantumkan terkait dengan kerahasiaan kisah ini. Salam hormat untuk nyai.
Kamariyah (generasi joko tarup ke 11), bapak. Sailin (santri agung ke 10,
sekaligus sesepuh penulis “kakek”)
dari pesarean Joko tarub, talang siring, pamekasan, Madura, Jawa timur, Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar