HABITUS KORUPSI, KPK MENGUAK ATAU BUNGKAM
Oleh : Mahendra M,R
MEGASKANDAL
korupsi e-KTP kini tengah mengawali babak baru, setelah melewati proses panjang
dan lama di medio 2014 akhirnya dua tersangka telah beralih status menjadi
terdakwa. KPK sudah menyampaikan, tidak menutup kemungkinan akan ada tersangka
lain dalam kasus ini. Tentu jantung siapa pun pihak yang terlibat dalam
permufakatan jahat kasus ini akan terus berdetak kencang. Kasus e-KTP layak
dinobatkan sebagai megaskandal korupsi dengan banyak saksi yang diperiksa serta
pengembaliansejumlah uang yang dilakukan oleh”oknum” legislatif. Hal ini juga”dimeriahkan” dengan turut
serta sejumlah korporasi yang mengembalikanuang komisi kepada KPK.
Berkaca pada lambatnya penanganan kasus e-KTP oleh KPK dikatakan sebagai sebuah
tren baru dengan modusyang berbeda dari kasus korupsi lain yang pernah
ditangani oleh KPK. Dengan begitu, pendalaman kasus oleh KPK memerlukan waktu yang tidak sebentar. Faktanya, dengan modus yang seperti apa pun perkara tersebut adalah
perkara korupsi yang merupakan ranah domain utama bagi KPK untuk dapat
ditelisik dan diungkap di publik.
Dalam khasanah
ilmu kriminologi tentu saja pelaku kejahatan akan terus memodifikasi cara mereka
melakukan kejahatan untuk menghapus jejak dan kemudian tidak dapat terlacak.
Sampai kapan pun pelaku kejahatan akan berusaha untuk satu langkah lebih maju
dari aparat penegak hukum. Polemik dalam Penanganan Korupsi Prinsip kehati-hatian dalam proses penanganan
perkara pidana mutlak diperlukan, namun tidak boleh meninggalkan esensi dari penanganan perkara pidana
yang cepat. Kasus korupsi penanganannya harus disegerakan agar jangan sampai
terbit kesempatan bagi para pelaku korupsi untuk menghilangkan bukti. Dua
terdakwa yang kemudian duduk di kursi pesakitan sekarang ini jangan sampai hanya menjadi
awal yang manis dan akhirnya kontraproduktif. Tentu KPK wajib melakukan ikhtiar yang sungguh-sungguh dalam
mengurai benang kusut kasus ini. Jika melihat model praktik korupsi yang tengah
terjadi, mustahil tidak ditemukan keterlibatan pihak lain yang memiliki
kekuasaan di dalamnya. Bagaimana tidak mudahnya meloloskan suatu kegiatan
dengan cap pemerintah adalah suatu hal yang sudah kita ketahui bersama, tentu
KPK harus melihat patron yang terjadi tidak hanya dari luar, namun dari dalam
pengusungan proyek itu ketika terjadi proses perumusannya. Dengan angka yang
fantastis, dana tersebut dapat digulirkan dengan segi kemanfaatan yang jauh
panggang dari api. E-KTP yang digadang-gadang sebagai proyek prestisius dengan
mengusung sistem single identity number ternyata dari keterangan salah satu
mantan anggota DPR di Komisi II saat itu sudah banyak menimbulkan pro dan
kontra. Dana lebih dari Rp6 triliun tidak sepadan dengan manfaat yang ditebar
dari proyek ini. Ketaatan terhadap suatu teknis hukum yang telah diatur
seharusnya tidak hanyadimaknai secara prosedural. Namun, lebih dari itu, harus
dianggap sejajar dengan ketaatan yang ditimbulkan dari perintah UU. Proyek ini
ketika dinyatakan bermasalah oleh catatan KPPU tentu tidak boleh diabaikan.
Habitus Korupsi
Bentuk lain dari korupsi yang berapa tahun belakangan ini menghiasi berita di
media adalah ada satu bentuk korupsi yang terjadi di ranah politik. Hal ini
adalah hal yang masih baru kita kenal dalam dunia peradilan. Walaupun
klausultersebut tidak ditemukan di dalam UU Tindak Pidana Korupsi yaitu dalam
kasus mantan Bupati Karanganyar, JawaTengah, Rina Iriani Sri Ratnaningsih. Jika
saja benar dugaan bahwa ada keterlibatan aktif dari lingkar legislatif yang
kemudian diarahkan ke partai politik, tentu saja KPK tidak boleh tinggal diam.
Semua informasi yang ada harus dijadikan oleh KPK sebagai pintu masuk awal
pengungkapan kasus ini sampai ke akar-akarnya.Secara sederhana dapat diartikan
bahwakorupsi politik adalah perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang
memegang kekuasaan politik, tetapi kekuasaan politik itu digunakan sebagai alat
kejahatan. Korupsi ketika telah menjadi suatu habitus atau kebiasaan akan
sangat sulituntuk diberantas. Salah satu penangkal utamanya adalah penegakan
hukum atastindak pidana korupsi yang tegas. Jelas pelakunya harus dihukum dan
uang hasil korupsinya harus dirampas untuk dikembalikan kepada negara.
Jadi,tidak boleh dilakukan secara alternatif dengan memilih salah satu opsi.
Mematikan kebiasaan
untuk melakukan korupsi adalah pertanyaan sekaligus tantangan yang harus kita
jawab. Beragam wacana telah coba disampaikan melalui ruang seminar dan
pertemuan berkala di hampir setiap kementerian dan institusi negara, tetapi tak
jua menyurutkan perbuatan pelaku tindak pidana korupsi. Pertanyaan yang
mendasar adalah apakah yang salah? Jika cara pendekatan hukum yang ditanyakan
sudah pasti jelas wacana penghukuman maksimal bagi pelaku korupsi dan
pemiskinan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah cara terbaiksejauh ini
untuk menekan laju tindakan korupsi yang terjadi. Habitus (kebiasaan) melakukan
korupsi dalam lingkup legislatif ataupun yang duduk di kursi eksekutif dengan
berlatar belakang partai politik tentu harus dilihatlebih jauh keterlibatan
partai politik yang bersangkutan. Menarik tanggung jawab partai politik dalam suatu
tindakan korup anggotanya harus mulai dipikirkan sehingga sistem lempar handuk
dalam setiap peristiwa hukum yang melibatkan salah satu anggota partai politik
tidak lagi ditemukan. Habitus korupsi anggaran yang secara sistem sudah cacat
dari awal atau sengaja untuk dicacatkan oleh oknum anggota partai yang terjadi
di lingkup legislatif khususnya tentu masih dapat dideteksi dari kewenangan
yang melekatpada sang anggota legislatif. Tidak berjalan efektif fungsi
anggaran, legislasi, dan pengawasan merupakan celah koruptif di sektor ini,
akan menjadi paripurna ketika bertemu dengan oknum eksekutif yang korup. Maka
itu, perang melawan korupsi harusdimenangkan sebagai bentuk tunainya janji kita
terhadap hak-hak mereka yang telah dirampok oleh suatu perbuatan korupsi.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar