Langit Membiru Laut Memukau
Hari
itu, tahun kemarin adalah waktu yang menjelma menjadi beberapa kado istimewa
dalam sajak-sajakku. Perjalanan yang melintasi mata kakiku, menjadi manusia
sejati membuat keegoan tersendiri bermunculan. Tutup tahun terlewati oleh hari
ke masa, menjadikan beberapa memoriku terhapus total. Namun ada dimana saatnya
aku melihatnya kembali. Dan hari ini, aku mulai ceritakan kisah langit yang
masih sama, laut yang tetap menjelma menjadi penguasa daratannya, seperti
cerita dongeng dewa neptunus penguasa laut sejatinya. Cahaya sedikit itu mengintip
dari balik perisai kokoh, yang biasa manusia sebut lembah emas oleh cahayanya
yang berkilau ketika senter bundar itu telah bersinar. Begitupun dengan bunyi
meleking yang mengganggu saat pagi tiba, sedikit demi sedikit ku coba buka mata
yang rekat dalam air yang membeku ini. Hingga beberapa suara aneh telah
membangunkan mimpi khayalku tadi malam. Sempat berfikir ingin ku bunuh jam
alarm itu, namun ku ingat kembali bahwa itu adalah kado spesial malam tahun
baru yang lalu. Beberapa tembusan-tembusan kuning jingga telah memaksa
menorobos masuk dalam dinding-dinding kamarku. Hingga ada tiga sampai empat tirai
berupa kain sutra putih warna kulitnya, layaknya bunglon yang beradaptasi oleh
tempat populasinya. Aku mencoba segarkan wajah kusut tak beraturan ini pada
pancaran air yang menembus lubang pori-pori mukaku, meski terkadang lamunan ini
menyiksa dan mengingatkan mimpi yang semalam. Seraya lamunan ini berlangsung,
teringat rasa sentuhan jemari tanganmu, ku teringat walau telah pudar, hingga
suara tawamu ku rindu meskipun ku tak ingin merindu, tanpamu langit tak berbintang,
tanpamu apa yang kurasa. “ Ah... lagi-lagi melamunkan sesuatu yang aneh”, ungkapku.
Aku terlahir biasa dalam keluarga yang seadanya ini, dan tak membuat semangat
juang hati yang berkobar menjadi luluh dengan keadaan peristiwa enam tahun lalu,
yang meruntuhkan rumahku. Amukan si jago merah menggempur luluh lantahkan semua
yang di lihatnya, termasuk tempatku tinggal. hanya menyisakan beberapa
puing-puing atap rumahku dan tembok yang masih menempel. Masa kelam itu
terkadang selalu menghantui pikiran ini. Pagi itu aku langsung berangkat menuju
tempatku menempuh ilmu, bersama sepeda buntut ini yang menjadi sahabat karibku
sejak SMA kelas dua, sampai saat ini pun aku masih duduk di bangku kuliah dan
baru menempuh semester tiga. Sampai di kampus tempatku berkreasi itu tiba di
sebuah parkiran kampus yang berjejer beberpa roda sangat rapi ku lihat jauh
dari jarak dua puluh meter penglihatan ini tak sengaja menangkap sosok dengan
kerudung putih dan mata melengkung yang berlindung di bawah alis tebalnya, ku
tak mengerti ini apa, melewati badan ini seakan gemetar layaknya terkena
sabitan listrik. Tambah membuatku tak mengerti dengan jantung yang berdetak.
Tiba-tiba dari arah belakang, aku di kagetkan oleh sentuhan tangan yang
memegang pundakku. “ Dik ?” suara itu langsung menggertakku, usai sudah
tatapanku kepada kerudung merah yang sempat ku lihat itu. Berbalik arah
kemudian aku menoleh pada tangan yang memegang pundakku. “ Ku pikir siapa kau
ron “, jawabku dengan nada biasa saja, karena terkejut seketika dia memegang
pundakku. “ hehe.. sory, aku mengagetkanmu dik, mari kau tak mau masuk kelas ?”
ajaknya padaku. “ Ya duluan ron” masih dengan nada sinis aku menjawabnys,
karena memang aku sangat tak suka ketika ada yang mengagetkanku, saat aku fokus
pada satu objek. Satu minggu kemudian, di hari yang sama, senin itu, tidak tau
ada angin apa, sosok itu muncul lagi dengan warna kerudung yang berbeda, namun dengan lipatan kerudung dan model yang
sama sosok itu masih berjalan sepuluh meter dari arah pandanganku. “Ingin
sekali rasanya aku berkenalan dengan wajah anggun pelangi jatuh ini”, ungkapku
dalam hati,. Namun masih tak kuasa aku tak biasa berkata apapun ketika sosok
itu telah melewati depan lampu sepeda motorku. Satu minggu pun telah berlalu
lagi, dan masih di hari yang sama, langitr yang sama dan keadaan yang masih
sama pula, seakan membuat hati yang berontak tak karuan bertanya-tanya ada apa,
dengan alunan lambayan tangannya di minggu ketiga di hari yang sama, sekali lagi
aku berhasil melihat sosok dengan kerudung istimewa itu lagi, sudah tiga minggu
ini tiga kerudung yang berganti dengan lipatan yang masih sama, berjarak
sepuluh meter di depanku sosok itu berjalan. Saat itu pula ku mencoba
menekatkan diriku untuk tau siapa dirinya perempuan itu. Dan hari ketiga itu
pula tanpa ada rencana apapun yang aku pikirkan, “Heii.. sepertinya tiga minggu
ini aku selalu diperhatikan ?” seketika mulutku tak bisa berbicara layaknya
terisolasi oleh banyak lem yang ku makan. Aku tak menyangka dirinya seberani
ini mendatangiku terlebih dahulu, dan menanyakan sesuatu yang tak pernah aku
pikirkan dari dua minggu yang lalu. “Anu.. aemmm.. itu.. “ terbata-bata saat
dia menanyaku. “ kenapa kamu seperti itu, bukannya ini tidak ada yang salah ?
atau apakah mungkin aku yang salah” paparnya padaku. “oh, tidak .. tidak.. aku
hanya kaget saja, tiba-tiba ada pertanyaan seperti itu”, seraya kucoba untuk
mengatur nafas saat perempuan itu lebih lama menatap mataku, layaknya polisi
yang mengawasi tahanannya. “kalau boleh tau kamu siapa ?” tanyanya padaku
seketika itu. Tanpa pikir panjang lagi aku langsung memperkenalkan siapa diriku,
meski ada sedikit rasa canggung dalam diriku hari itu . “ Dika, lebih tepatnya
Andika Purnomo, Panggil saja Dika”. Ucapku padanya. Meski masih sedikit gemetar
ketika ku perkenalkan namaku padanya, hanya bisa kulihat senyuman manja dari
lesung pipinya yang manis itu. “aku Andin, lebih tepatnya juga Andini, namun
biasa di panggil Andin “ dengan mengulurkan jabatan tangan tanpa ada rasa malu
sedikitpun padaku. “Sudah semester berapa andin?” tanyaku padanya dengan nada
yang masih agak sedikit gugup, ” sama seperti denganmu dik “, lagi-lagi dengan
santainya perempuan itu menjawab. “emm.. gitu.. ” jawabku datar. Tiba-tiba
pertemuan itu usai seketika, Saat Andin langsung pergi dengan waktu yang sudah
tak mendukung kami untuk cepat-cepat masuk kelas yang berbeda. Perkenalan
singkat itu mengantarkan pertemuan yang sangat bersejarah padaku hari itu.
Setelah hari itu usai lebih lama lagi aku semakin rindu terhadap suaranya lagi.
Masih di tempat yang sama, aku menuggu kedatangannya di parkiran kampusku.
Setelah hari kemarin aku berjabat tangan dengannya, Dari kejauhan pula aku
berhasil melihat lagi saat dirinya dengan sepeda kecilnya menuju ke arahku,
layaknya cinderella dengan kereta kencananya. Aku mencoba untuk memberanikan
diri menyapanya terlebih dahulu “ hei... Andin ? “ sapaku padanya. Dengan
sedikit senyuman manisnya lagi-lagi memebuat pecah seisi fikiranku padanya.
“iya dik..” jawabnya lembut padaku. Namun apa yang terjadi ketika mobil avanza
dari belakang tempat kami berdiri tiba-tiba mengklakson pertemuanku dengan
Andin. “ Din, ayok cepat masuk nanti kita telat “ suara yang tiba-tiba
mengejutkanku. Dari balik kaca mobilnya suara itu datang dan sedikit membuka
pnitu untuk Andin. “ Andin, dia siapa ?” tanyaku padanya. Dengan nada suara
yang terburu-buru itu dirinya berkata “ Maaf Dik, aku harus pergi dulu, orang yang
memanggilku itu kekasihku “ ungkapnya padaku. Tidak ada angin topan, tidak ada
badaipun pagi itu, namun terasa bagiku seperti ada yang mengulas fikiran dan
jiwa layaknya di diterbangkan angin puting beliung, dan pada akhirnya aku tak
bisa berfikir jernih lagi, emosi,sedih,amarah, tidak tau apa namanya lagi saat
terdengar kata dari Andini bahwa dirinya telah mempunyai seorang kekasih, dan
ternyata telah ada orang yang terlebih dulu ada dan mendahuluiku mencapai gerbang
cintanya. Apakah ini cinta ? apakah cinta yang sebagian manusia selalu
mengatakan pasti ada rasa sakit yang tak bisa dijelaskan oleh logika, apa aku
telah jatuh hati pada sosok Andin ini, Tuhan mengapa kau ciptakan hati, ketika
aku telah bisa merasakan apa itu cinta kau patahkan juga. Seketika ungkapku
dalam hati, sejenak ku berpikir dalam hati saat renungan itu tiba-tiba musnah
dan aku mulai berjalan untuk memasuki kelas kuliahku. Beberapa minggu telah
berlalu, dari kejadian itu, aku berusaha untuk melupakan semua yang telah
terjadi , namun ingatan itu tetap saja ada, dan menghantui setiap mimpi
malam-malamku. Seraya dengan itu pula aku sudah tak melihat lagi sosok Andin di
kampus, dan seperti biasa saat aku menunggunya di parkiran. Dan timbul beberapa
pertanyaan lagi dalam benakku, mengapa aku tak bisa melihatnya lagi, atau
jangan-janagan dirinya telah tak ingin bertemu denganku lagi. Namun apa salahku
sehingga tak ada pertemuan lagi ? beberapa pertanyaan yang tak bisa kumengerti
sendiri. Tidak tau mengapa seketika ada dorongan yang membuatku untuk mencari
Andin. Hari itu ku mencoba datangi kelas kuliahnya dan ternyata dirinya tidak
masuk kelas kuliah, telah beberapa minggu dari pertemuanku dengannya hingga
saat ini Andin menghilang, seperti di telan bumi dirinya menghilang tanpa ada
kabar sekalipun. “Bodohnya aku waktu pertama kali bertemu tak meminta kontak
handponennya “ ungkapku dalam hati yang bergumuru seketika itu. Keesokan
harinya aku mencoba lagi untuk mencari tau keberadaan Andin, ada salah satu teman
kelasnya yang memberikan info tentang alamat tempat Andin tinggal. Info ini
sangat membuatku senang ketika aku langsung berangkat untuk menemui dirinya.
Ketika sampai di alamat yang diberitahu oleh salah satu temannya itu, tanpa
berpikir panjang aku langsung menekan tombol bel yang sudah menempel di depan
gerbang rumahnya itu. Beberapa menit kemudian keluarlah seorang perempuan paruh
baya dari rumah tersebut “ ada perlu apa ya mas ?” suara pertanyaan itu
mengarah padaku. “ maaf buk sebelumnya, kalau boleh tau apa benar ini rumah
Andini ?” tanyaku pada perempuan paruh baya itu. “ iya, benar mas.. ada perlu
apa ya ?” tanyanya lagi padaku. Dengan sigap aku langsung menjawab dan
menanyakan pada perempuan itu. “ ini saya teman kelasnya Andini, perkenalkan
nama saya Andika. Saya mau tanya Andini kemana ? sudah 2 minggu ini Andini
tidak masuk kuliah.” Dengan ungkapanku yang sedikit berbohong mengaku teman
kelasnya tiba-tiba seketika perempuan itu sejenak diam dan lalu masuk kedalam
rumahnya lagi. Aku pun sempat tak mengerti pula mengapa perempuan yang ku nilai
seperti pembantunya ini langsung masuk kedalam rumahnya tersebut, tidak terlalu
lama perempuan paruh baya itu keluar dari rumahnya dan memberikan sebuah amplop
yang tak ku mengerti maksutnya itu apa. Perempuan itu lalu menoleh kesamping
kanan dan kiri layaknya teroris yang waspada terhadap ancaman polisi. “ ini mas
surat dari non Andini untuk mas. “ dengan menyodorkan amplop yang dipegangnya
itu melalaui pagar besi yang membatasi pembicaraan kami. “ maksutnya apa ini
buk ?” tanyaku padanya yang masih tak mengerti dengan adanya amplop itu. “ Non
Andini tidak ada disini mas, dan non Andini memberikan Amplop ini kepada saya ,
kalau seandainya suatu saat nanti ada seseorang yang datang menemuinya dan
orang itu bernama Andika, maka berikanlah padanya, itu pesan Non Andini pada
saya mas, Yasudah saya mau masuk lagi mas.. mari !! ” jelasnya padaku setelah
memberikan amplop tersebut dan masuk lagi kedalam rumah itu. Aku hanya bisa
termenung saja dengan amplop yang ku pegang itu, masih ada sedikit yang tak ku
mengerti dan sedikit penasaran apa isi dari amplop itu, Setelah itupun aku
langsung beranjak pergi dari rumah Andini dan pulang kerumah. Malampun tiba
tanpa mengatakan selamat tinggal terhadap pagi dengan bergantinya senja menjadi
bulan, Bintangpun malam itu sangat banyak dan indah serta sejajar bersama
porosnya membentuk sebuah cakrawala langit dengan cahaya bulannya yang memanah
atap rumahku. Saat itu pula di atas genteng rumahku, aku duduk dan mencoba
untuk membuka apa yang tersimpan di dalam amplop yang diberikan oleh pembantu
Andini tadi siang, sedikit sobekan dan hentakan jemariku terhadap amplop itu ku
mulai membukanya, dan apa yang kulihat, ternyata sebuah surat kecil yang
terlipat rapi di dalam amplop itu, setelah kubuka dan ku baca isi sutat kecil
itu.
Dear, to ANDIKA PURNOMO
Hei laki-laki dengan
sepeda motor butut J, bagaiman kabarmu malam ini, ku
harap kau baik-baik saja, diriku hanya menebak-nebak saja bahwa sekarang telah
malam ketika kau membaca suratku ini, dan mudah-mudahan ini benar adanya.
Setelah kau membaca surat kecilku ini pasti ku tau bahwa dirimu telah
mendatangi rumahku. Di hari itu pertama kali kita bertatap muka dengan wajahmu
yang sangat lugu, diriku telah merasakan ada gemercik kecil yang berkexamuk
dalam hati ini, hanya saja ku tak ingin merespon semuanya, hingga pertemuan
kedua dan ketiga itu ku merasa kau harus tau bahwa diriku telah mengagumimu
secara diam-diam. Perlahan-lahan setiap malam serasa beberapa kerinduan ini
telah menempel di dalam dinding kamarku. Ingin rasanya diriku mengetahui nomor
handponemu, namun ku berpikir dua kali, tidak logis kiranya kalau seorang perempuan
menanyakannya terlebih dahulu, karena diriku pula merasa punya malu, meski
pertemuan ketiga itu diriku langsung mendatangimu terlebih dahulu, karena memang
sudah tak tahan dan ingin mencari tahu ada apa pada hatiku dan apa yang
terjadi. Hemm... maaf. Bukan maksutku untuk menghilang dari keberadaanku di
kampus terutamanya. Dan kejadian kemarin itu kau juga harus tau, bahwa
laki-laki yang menjemputku itu tak lain adalah kakakku sendiri, maaf diriku harus berbohong padamu. Karena diriku
takut untuk mencinta, dan yang lebih ku takutkan, aku takut kau nantinya akan
merasa kehilangan ketika diriku telah pergi dari dunia titipan ini. Kau juga
harus tau Dik... bahwa aku telah mengidap penyakit kanker otak stadium empat.
Dan mengapa aku tak ingin mengenal cinta meski ku ingin, karena aku tak ingin
menyakiti siapapun, terutama dirimu Andika. Orang tuaku membawaku ke Belanda
untuk berobat, di negeri kincir angin ini aku akan menghumbuskan nafas
terakhirku ini, semoga kau mengerti akan keadan yang terjadi. Karena aku
percaya dimana ada pertemuan pastilah perpisahan yang akan menghantui.
Usai
ku baca surat Andini, tak terasa apa yang bersuara di hati ini dari pertama
kali aku bertemu dengannya mengisahkan perasaan yang sama. Malam itu sudah
menjadi malam yang menyayat bagiku, meski tak ada bekas luka di tangan namun
sangat tersa sakit di dalam hati ini, hingga ku terlelap dalam tidurku malam
itu di atas genteng rumahku. Satu tahun telah berlalu sejak kejadianku dan
kisah Andini kekasih tak sampai itu pergi untuk selama-lamnya dalam kehidupanku
dan dunia ini. Masih di hari yang sama, Langit yang masih membiru dan laut pun
yang masih memukau menjadi penguasa daratannya. Dengan sepeda buntut ini aku
masih ada di parkiran kampus untuk merapikan sepedaku dalam barisan. Setelah ku
buka helm yang melekat dalam kepalaku, tak sengaja kulihat mobil avanza di
dalam spion sepeda ku itu, mengklakson dan mendatangiku. Setelah ku ingat-ingat
kembali hampir mirip dengan mobil yang dimiliki oleh kakak Andini waktu dulu
dia menjemputnya di tempat yang sama. Dan terbukalah pintu mobil itu, turun
kaki yang pertama kulihatnya sebelum dengan sosok laki-laki yang turun dari
mobil mewahnya, seketika itu turun pula sosok kerudung merah muda dengan lipatan
yang tak asing bagiku, mengikuti langkah kaki laki-laki yang turun dari mobil
mewahnya. Pada saat itu pula dunia seperti berhenti, waktu pun seketika ikut
berhenti pada saat ku lihat sosok “Andini..” ucapku dengan perasaan campur aduk
antara gembira dan sedih, serta rindu yang selalu mencekam hati dan jiwaku.
“Apakah ini mimpi ?” ucapku pada diri sendiri. “Hei Dik, masih dengan ekspresi
yang sama ternyata ya ?” suara itu mengarah padaku dari wajah yang menyerupai
Andini kekasih tak sampaiku itu. Lalu ku coba untuk memukul wajah di bagian
pipiku untuk memastikan bahwa ini tidaklah sebuah mimpi. Seketika itu hanya ada
rasa sakit yang ku rasa dan keadaanpun tidak berubah dengan adanya Andini yang
tercengang dengan tingkahku dan kulihat dirinya bersama seorang laki-laki
tinggi dan gagah. “Mengapa kau memukuli wajahmu sendiri dik ?” ucapnya padaku.
Aku masih tercengang dengan keadaan yang terjadi dan masih bertany-tanya “kau
benar Andini, lalu surat itu ?” “tanyaku pada perempuan itu. “ iya .. aku
Andini yang mengirimkan surat itu padamu, namun ku titipkakn pada mbok Surti
pembantu rumahku, karena aku harus berangkat ke Belanda untuk berobat kesana.
Dan Alhamdulillah tuhan masih ingin memberiku hidup kedua, dan mungkin tuhan
ingin masih melihatku untuk menjalani hidup ini dengan orang yang bisa
menuntunku kejalan yang lurus.” Ungkapnya padaku. Dengan mata yang berkaca-kaca
aku pun mengangukkan kepalaku dan memahami semua penjelasan yang Andini katakan
terhadapku, dan Andini pun memperkenalkan aku pada saudara laki-lakinya yang
tinggi gagah itu. Dari kejadian itu pula aku bisa mengoreksi diri dengan apa
yang terjadi dan aku percaya bahwa tidak ada seorangpun yang tau terhadap rahasia
tuhan, cukup kita tawakkal dan istiqomah saja, seraya kejadian dan kejadian
berlalu, banyak pelajaran yang bisa di petik dari seorang Andika Purnomo, bahwa
hidup itu dinamis, hidup itu masalah, ketika seseorang tak ingin mengenal apa
itu masalah maka matilah saja, bersamaan dengan kisah Andika yang kembali lagi mendapatkan kekasih tak
sampainya dari seorang Andini, meski harus menunggu dalam satu tahun dengan
kepedihan yang selalu meekat di dalam lubuk hatinya,namun Andika sangat percaya
bahwa Andini adalah kado spesial yang di berikan tuhan padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar